Teknologipangan.umsida.ac.id – Keamanan pangan dan sertifikasi halal menjadi dua faktor utama yang semakin diperhatikan masyarakat dalam mengonsumsi produk hewani, khususnya daging sapi. Namun di balik meningkatnya kesadaran konsumen, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak celah dalam sistem rantai pasok daging yang bisa mengancam kedua aspek tersebut.
Penelitian terbaru mengungkap bahwa lemahnya pengawasan dalam sistem rantai pasok daging sapi membuka peluang besar terhadap produk yang tidak aman bahkan tidak halal beredar di pasaran. Permasalahan ini tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan masyarakat, tetapi juga menimbulkan keresahan terkait kehalalan produk yang dikonsumsi umat Muslim.
Rantai Pasok Daging dan Risiko Keamanan Pangan
Rantai pasok daging sapi melibatkan banyak tahapan mulai dari pemotongan hewan, pengemasan, distribusi, hingga penjualan kepada konsumen. Setiap tahapan tersebut berisiko apabila tidak diawasi secara ketat. Misalnya, kurangnya pengawasan terhadap cara penyembelihan yang sesuai syariat Islam, alat transportasi yang tidak higienis, hingga tidak adanya pencantuman sertifikat halal pada produk daging yang dijual.
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) dan Fault Tree Analysis (FTA), ditemukan bahwa ada lebih dari 30 potensi risiko yang mengancam keamanan dan kehalalan daging sapi. Risiko tertinggi adalah tidak adanya sertifikat halal yang terlampir pada produk daging. Hal ini menjadi perhatian serius karena tanpa dokumen tersebut, konsumen tidak memiliki jaminan kehalalan atas daging yang mereka konsumsi.
Selain itu, hasil riset juga mengelompokkan risiko-risiko tersebut ke dalam empat kategori yaitu risiko ekstrem, tinggi, sedang, dan dapat diterima. Empat risiko diklasifikasikan sebagai ekstrem, sebelas sebagai tinggi, empat sebagai sedang, dan sebelas lainnya termasuk dalam kategori risiko yang masih dapat diterima.
Sertifikasi Halal: Masih Diabaikan?
Di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap label halal, ironisnya masih banyak pelaku usaha yang mengabaikan pentingnya sertifikasi tersebut. Beberapa di antaranya bahkan menganggap bahwa daging sapi yang berasal dari wilayah mayoritas Muslim secara otomatis dianggap halal. Padahal, proses sertifikasi halal bukan hanya tentang identitas agama pelaku usaha, melainkan mencakup keseluruhan proses produksi dan distribusi yang sesuai dengan standar syariah.
“Sertifikasi halal adalah bentuk tanggung jawab kepada konsumen. Tanpa adanya bukti yang jelas, kita tidak bisa menjamin daging itu disembelih dan ditangani sesuai syariat,” ujar salah satu peneliti yang terlibat dalam studi tersebut.
Lebih lanjut, proses pengawasan terhadap kehalalan tidak boleh berhenti hanya pada rumah potong hewan (RPH). Penanganan pasca-potong seperti penyimpanan, pengangkutan, hingga penyajian juga harus diperhatikan. Kontaminasi silang dengan produk tidak halal bisa saja terjadi jika sistem pengawasan dan edukasi tidak berjalan optimal.
Urgensi Penegakan Standar dan Transparansi
Untuk menjawab persoalan ini, diperlukan kolaborasi antara berbagai pihak, mulai dari pemerintah, lembaga sertifikasi halal, akademisi, pelaku industri, hingga masyarakat. Pemerintah diharapkan bisa memperkuat regulasi dan mekanisme pengawasan terhadap rantai pasok pangan, khususnya produk hewani. Sementara itu, masyarakat juga perlu diberikan edukasi agar lebih kritis dan aktif dalam memastikan produk yang dikonsumsinya telah memenuhi standar keamanan dan kehalalan.
Peneliti menyebutkan bahwa sistem rantai pasok daging sapi idealnya harus mengadopsi teknologi yang mendukung transparansi dan ketelusuran produk. Salah satu solusi yang diusulkan adalah penggunaan teknologi blockchain dalam mencatat setiap proses distribusi dan penanganan daging secara real-time. Dengan teknologi ini, konsumen dapat dengan mudah menelusuri asal-usul produk dan memastikan bahwa daging yang mereka beli telah memenuhi standar keamanan dan halal.
Meningkatkan Kepercayaan Konsumen
Keamanan pangan dan jaminan halal bukan sekadar isu teknis, melainkan juga persoalan kepercayaan publik. Ketika konsumen merasa yakin bahwa produk yang mereka konsumsi aman dan sesuai dengan ajaran agama, maka loyalitas dan kepercayaan terhadap produsen akan meningkat.
“Rantai pasok yang aman dan halal adalah bentuk perlindungan terhadap hak konsumen. Ini juga merupakan bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual pelaku usaha,” ungkap tim peneliti.
Dengan semakin kompleksnya sistem distribusi pangan saat ini, sudah saatnya pengawasan terhadap keamanan dan kehalalan produk daging sapi diperkuat. Riset semacam ini menjadi pengingat bahwa kemajuan teknologi dan pertumbuhan industri pangan harus diiringi dengan peningkatan standar etika, kesehatan, dan religiusitas.